Rabu, 27 Agustus 2014

Sukseskan Kurikulum 2013

Pemerintah selalu berusaha untuk meningkatakan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satunya melalui penerapan kurikulum 2013. Kurikulum ini mengedepankan aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Inilah yang diklaim sebagai pembeda dari kurikulum 2013 ini dengan kurikulum terdahulu yang katanya terlalu mengutamakan aspek kognitif (pengetahuan). Benarkah itu? Tentu saja benar. Karena Pemerintah (melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) dalam memutuskan untuk menerapkan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah ini pastinya dengan berbagai pertimbangan dan serangkaian kajian ilmiah. Salah satunya berangkat dari Refleksi Hasil TIMSS 2007 bahwa hanya 5% siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal-soal dalam katagori tinggi dan advance [memerlukan reasoning], sedangkan 71% siswa Korea sanggup. Dalam perspektif lain, 78% siswa Indonesia hanya dapat mengerjakan soal-soal dalam katagori rendah [hanya memerlukan knowing, atau hafalan], Perlunya mengembangkan kurikulum yang menuntut penguatan reasoning. Kurikulum 2013 ini diharapkaan dapat membangun manusia Indonesia yang lebih berkarakter. Sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yaitu mempersiapkan insan Indonesia untuk memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan peradaban dunia Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (19) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Di negeri ini, perkembangan kurikulum disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum 2013 secara serentak diberlakukan mulai tahun pelajaran 2014/2015 ini. Pelatihan-pelatihan dengan sasaran para guru di seluruh Indonesia secara besar-besaran dilaksanakan ibarat sinetron striping “kejar tayang”. Kurikulum yang mulai berjalan pertengahan bulan Juli 2014 ini merupakan jawaban dari Mendikbud Mohammad Nuh bahwa kurikulum 2013 ini memang telah matang disiapkan Kemdikbud. Beberapa guru yang mewakili daerahnya masing-masing mengikuti pelatihan implementasi kurikulum 2013 di tingkat provinsi, maka menjadi petugas berikutnya yang menularkan ilmu yang baru didapatnya itu untuk disampaikan kepada guru-guru lain di daerahnya. Hasil penyelenggaraan di tingkat kabupaten kemudian dilaporkan kepada LPMP sebagai penjamin mutu pendidikan. Para guru pun antusias mengikuti, pelatihan itu. Para guru yang selalu peka terhadap perkembangan zaman menyambut baik dengan kurikulum ini. diharapkan dengan pembenahan kurikulum ini, guru sebagai baris terdepan dalam dunia pendidikan semakin bersemangat dan memudahkan guru dalam kegiatan pembelajaran, mengingat buku-buku untuk kurikulum 2013 ini sama untuk semua sekolah di Indonesia. Dengan adanya buku siswa dan buku guru, diharap guru paham betul tentang kegiatan pembelajatan yang menuntut keaktifan siswa dalam belajar. Dengan pendekatan tematik diharap siswa mampu menguasai ilmu secara utuh. Mari, kita sukseskan kurikulum 2013. Dede Awan Aprianto

Jumat, 19 Juni 2009

Antara Karma dan Sariawan

Antara Karma dan Sariawan

Percayakah anda dengan karma? Jika anda bukan termasuk orang yang percaya dengan karma, maka mulai sekarang, saatnyalah anda untuk percaya karma itu.
Beberapa hari yang lalu saya menggertak anak didik saya dengan kata- kata yang pedas dan saya bisa pastikan: menyakitkan. Kenapa saya bisa bilang begitu, bacalah tulisan ini sampai selesai.

Karma bukanlah kurma, makanan khas yang tumbuh di daerah padang pasir itu, kondang sebagai oleh-oleh haji. Meski belinya tidak dari arab langsung, tapi setiap yang menyajikan orang yang pulang dari haji, maka setiap yang bertandang pasti ingin menyantap kurma dan air zam-zam itu (bisa dipastikan air zam-zamnya juga tidak semuanya zam-zam, maklum setiap jemaah haji pasti dibatasi berapa dirigen dia boleh membawa. Sementara ketika tiba di tanah air, berapa banyak warga yang ingin meraskan air zam-zam itu).

Bukan ke sana arah pembicaraan kita. Tapi yang namanya manusia. Suka bicara ngalor ngidul, yang kurang ditambah-tambahi, yang pedas jadi semakin pedas. Kembali ke laptop kata tukul, ya karma, kata yang tersusun dari lima huruf itu yang akan kita bicarakan.

Beberapa hari yang lalu ketika saya mengajar di depan murid-murid saya, ketika saya menerangkan, mereka mengobrol sendiri. Sontak saya pun marah, merasa tidak diperhatikan, merasa sia-sia diri ini dengan lantangnya menjelaskan materi pelajaran, sementara untuk ngomong saja mulut ini menahan kelu karena sariawan di bibir yang makin menjadi, asem kecut lah bisa dibilang mulut ini. Sariawan, benar benar menjengkelkan.

Lalu dimanakah karma itu? Sabar saudara- saudara, orang sabar disayang Tuhan.
Ketika saya mengikuti kuliah, (maklum kata pak guru saya yang sudah tua, guru muda harus sekolah, biar nanti bisa untuk surtifikasi katanya). Entah kenapa mungkin karena kebiasaan mengutak-atik handphone, pada waktu itu saya ketahuan sedang bermain hp. Maka sontaklah sang dosen pun menegur, lebih tepatnya marah, karena merasa beliau sedang berbicara (mungkin sambil menahan sariawan di bibir juga) tapi mahasiswanya tak mendengarkan beliau, mengacuhkannya.

Ketika beliau selesai melampiaskan kemarahannya, saya pun diam beribu bahasa. Teman-teman saya pun bilang, sudah jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka kasihan melihat saya yang seketika merasa bersalah. Tampang saya waktu itu memang bisa dibilang, layak untuk dikasihani.

Tapi sebenarnya bukan karena beliau marah itu saya diam. Tapi saya memikirkan perasaan anak didik saya yang beberapa hari yang lalu saya marahi justru bukan karena kesalahan mereka, tapi karena sariawan. Tapi kalau beliau yang barusan marah, ya saya terima. Karena itu memang kesalahan saya.

Ada beberapa hikmah yang saya petik dari kejadian itu. Pertama, karma itu berlaku. Tidak menunggu bulan atau tahun, hanya keletan (basa jawa) beberapa hari saja, langsung berbalik. Kedua, dimarahi memang menyakitkan. Ketiga, orang marah itu sebenarnya seperti mengeluarkan sifatnya yang sebenarnya, berkuranglah wibawanya. Keempat, kalau pikiran sedang sariawan, janganlah sariawan ini dibawa-bawa.

Dede Awan Aprianto
Guru SDN Rowopanjang Bruno Purworejo

Minggu, 19 April 2009

Kekerasan Pelajar Putri, Potret Buram Pendidikan Keluarga

Kekerasan Pelajar Putri, Potret Buram Pendidikan Keluarga

Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sesama pelajar. Parahnya, tindak kekerasan ini banyak yang diabadikan dalam rekaman video handphone, tekhnologi yang bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, termasuk pelajar. Lebih parahnya lagi, kekerasan pelajar tersebut tidak hanya terjadi pada pelajar putra saja, tetapi juga pelajar putri.
Masyarakat kita sepertinya sudah biasa disuguhi adegan-adegan yang direkam dengan video handphone. Mulai dari video mesum yang dilakukan oleh publik figur, video adegan panas yang dilakukan oleh pelajar, video kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid, video perpeloncoan senior terhadap yuniornya, dan video-video yang lain dengan judul dan berita yang lebih memukau. Rekaman video tersebut dengan mudahnya tersebar lewat kecanggihan tekhnologi informasi dan komunikasi saat ini.
Tapi yang membuat saya tidak habis pikir adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelajar putri yang dalam tayangan videonya tampak dilihat oleh banyak orang, ditonton, atau lebih tepatnya disemangati oleh yang menonton ibarat menyaksikan pertandingan tinju saja. Perempuan sosok yang anggun itu, tampaknya telah berubah paradigmanya menjadi perempuan petarung yang handal. Sungguh sebuah ironi.
Ada yang mengatakan, dimana sebenarnya kontrol pihak sekolah dalam memantau siswanya?, mengingat kejadian itu dilakukan oleh pelajar, masih berseragam pula. Ada yang bertanya, dimana peran keluarga dalam memberikan pendidikan kepada putra-putrinya?. Menurut saya, kekerasan pelajar sebenarnya merupakan hal yang sering terjadi di kalangan pelajar. Kita mengenal istilah bullying. Hanya saja mungkin dulu tidak direkam dalam handphone, sehingga tidak semua orang bisa menyaksikan hal itu.
Kegagalan Pendidikan dalam Keluarga
Kekerasan atau perkelahian yang dilakukan oleh pelajar putri sebenarnya merupakan sebuah indikasi yang menandakan bahwa telah rusaknya tatanan dalam masyarakat, runtuhnya budaya malu, hilangnya tenggang rasa dan kekeluargaan, musnahnya kesabaran yang dilandasi kasih sayang, dan kegagalan pendidikan dalam keluarga.
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi perilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat, sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Secara tersirat dipahami bahwa bahwa tujan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Memperhatikan tujuan tersebut maka pendidikan keluarga dapat dipandang sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya, meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Dinn Wahyudin, 2008).
Tidak ada kontrol dari keluarga, khususnya para orang tua yang tidak sempat lagi memberikan pendidikan dalam keluarga karena lebih sibuk dengan memenuhi ekonomi keluarga, telah membuat pelajar kita tidak memiliki kontrol diri dalam pergaulannya. Sehingga perkelahian pun marak terjadi karena mereka tidak memiliki sikap sabar dan sikap saling menghargai. Tayangan televisi bisa dikatakan menjadi penyebab merosotnya moral pelajar kita. Misalkan ada sebuah tayangan sinetron mengisahkan pelajar remaja yang berseteru hingga berusaha untuk melukainya. Peristiwa semacam ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadian anak.
Pembentukan Kepribadian Anak
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan oleh orang tua yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, sopan santun, etika, agar anak menjadi lebih siap untuk berperilaku baik dalam kehidupan masyarakat dan menghormati orang lain. Jika setiap keluarga menanamkan nilai-nilai etika yang benar maka semua manusia akan hidup berdampingan dan damai.
Sebagai orang tua, marilah kita pantau anak-anak kita agar terhindar dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh temannya atau melakukan kekerasan terhadap temannya. Walau bagaimanapun, anak tetaplah sosok yang mudah kita nasehati apabila kitapun memberikan contoh yang baik buat mereka. Pendidikan dalam keluarga sangatlah penting dan utama dalam keseluruhan proses pendidikan anak. Bila memiliki anak perempuan, didiklah mereka agar sadar akan posisi keperempuanannya. Tidak baik jika sampai dilihat orang kalau ada anak perempuan yang berkelahi.
Dede Awan Aprianto, A.Ma.
Guru SDN Rowopanjang Bruno Purworejo

Rabu, 24 September 2008

Kisah Guru dalam Novel Indonesia

Novel adalah cerita yang melukiskan sebagian hidup pelaku yang penting saja. Bahasanya sederhana atau bahasa sehari-hari dan bersifat realisme (nyata) atau naturalisme (alami). Penulis menemukan beberapa kisah guru dalamnovel atau novel yang bertema pendidikan yang menyangkut kisah tentang kehidupan guru. Setidaknya cuplikan novel ini menggambarkan keberadaan guru pada masanya, dan menjadi renungan untuk perjuangan guru dalam memajukan pendidikan.
Novel Kasih Ibu (1932) karya Paulus Supit terbitan Balai Pustaka mengisahkan Corrie yang berhasil menjadi guru yang diikuti pula oleh adik bubgsunya Rudolf. Melalui perjuangan dan kasih saying seorang ibu yang ingin anak-anaknya bersekolah dan sampai pada cita-cita yang diinginkannya. Mochtar Lubis dengan novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) terbitan Pustaka Jaya mengisahkan Guru Isa, seorang guru sekolah rakyat di Tanah abang yang terlibat dalam pergolakan revolusi yang sedang terjadi.
Orang Buangan (1971) novel Harijadi S. Hartowardjojo terbitan Pustaka Jaya mengisahkan Guru Tantri, guru sekolah dasar di sebuah desa yang penduduknya terkena wabah penyalit dan banyak yang meninggal. SangGuru (1973) masih terbitan Pustaka Jaya, novel karya GersonPoyk ini mengisahkan kehidupan guru di pulau Ternate pada masa pemberontakan Permesta.
Pustaka Jaya menerbitkan Pergolakan (1974) karya Wildan Yatim mengisahkan guru Abdul Salam yang juga mubaligh, seorang guru yang ditempattugaskan di sebuah desa yang dianggap menyimpang dalam menerapkan ajaran Islam. Novel ini juga menceritakan kegelisahan penduduk desa di pinggiran hutan sumatera akibat pemberontakan PRRI/Permesta dan juga terror dan intrik PKI.
Pertemuan Dua Hati (1986) karya Nh. Dini terbitan Gramedia mengisahkan Ibu Guru Suci, guru SD di Semarang dalam menghadapi Waskito, muridnya yang bandel, sementara di satu sisi anak kandungnya sendiri mengidap penyakit ayan yang memerlikan perawatan intensif. Novel ini juga memberikan gambaran bahwa murid yang nakal bila ditangani dengan pendekatan dan cara yang tepat akan kembali menjadi murid yang wajar tentunya dengan ekstra kesabaran seorang guru.
Lascar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata terbitan Bentang Pustaka mengisahkan Bapak Harfan dan Ibu Muslimah dalam mendidik anak SD Muhammadiyah di ppppPilau Belitong. Novel Best-seller ini juga menceritakan Ikal (Andrea Hirata, penulis novelnya) dalam menempuh pendidikan bersama teman-temannya.
Rumah Pelangi (2008) terbitan Arti Bumi Intaran karya Samsikin Abu Daldiri mengisahkan Bu Samsikin, seorang guru perempuan jawa di era 60-an.
Demikianlah beberapa kisah guru dalam novel Indonesia. Masih banyak lagi novel-novel tentang kisah guru yang penulis tidak ketahui. Tapi setidaknya dapat memberikan gambaran tentang perjuangan guru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Dede Awan Aprianto
Guru SDN Rowopanjang Bruno Purworejo

Kamis, 04 September 2008

Hentikan Kekerasan Pada Anak Didik!

Guru adalah orang tua di sekolah. Pendapat ini sering disalahartikan oleh para orang tua siswa bahwa segala hal yang berkaitan dengan masalah pendidikan anak-anaknya adalah tanggung jawab guru. Padahal guru hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Orang tua di rumah menghadapi tingkah satu anak saja sudah dibuat repot. Apalagi kalau ada puluhan anak di kelas dengan segala tingkahnya, apa tidak semakin repot?.
Peringatan dan hukuman sering dilakukan kepada anak didik yang dianggap nakal dengan tujuan untuk memberikan efek jera kepada anak didik agar perbuatan itu tidak akan dilakukan lagi. Peringatan bias dilakukan dengan ucapan (bahkan bentakan) sedangkan hukuman misalnya menyuruh anak berdiri di depan kelas, lari keliling lapangan, dikeluarkan dari dalam kelas, atau mungkin dengan jeweran di telinga.
Tapi hati-hati, hukuman yang kita lakukan yang awal mulanya bertujuan baik, bias kebablasan dan berakibat fatal sehingga menjadi bahan konsumsi media seperti berikut:
Dua siswa sekolah dianiaya guru, korban mengalami luka memar di bagian punggung akibat dipukul sang guru menggunakan kayu (okezone.com 22/04/2008). 41 siswa dianiaya guru, seluruh siswa dibariskan di depan kelas, dan dengan dengan sekuat tenaga memukuli siswa yang sebagian besarnya wanita dengan menggunakan ikat pinggang (sijomandiri.net 07/06/2008). Karena salah menghitung saat melemparkan bola basket kepada temannya, seorang siswa harus rela menerima pukulan dan tendangan dari gurunya (liputan6.com 09/05/2007). Seorang siswa dianiaya di ruang kelas saat istirahat karena siswa lain dibuatnya menangis dan tanpa permisi sang guru langsung melayangkan lengan kanannya ke pipi siswa dengan cara menahan pipi kirinya dengan tangan kiri (rakyatmerdeka.co.id 30/01/2007). Siswa tidak kerjakan PR dianiaya guru (antara.co.id 02/05/2007). Siswa geger otak karena dianiaya guru (detiknews.com 07/06/2008).
Menurut Blask (1951), kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil dan tidak dapat dibenarkan yang disertai dengan emosi yang hebat, atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
Menurut KUHP pasal 29, melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa sakit yang sangat.
Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru dibawah kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Untuk menghindari kekerasan pada anak didik, guru harus memahami psikologi anak yang menyangkut perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
Undang-undang no 23/2002 tentang perlindungan anak, juga menegaskan partisipasi anak yang berbunyi "Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan".
Anak di kelas diberi cap nakal, betulkah ia seorang yang nakal? Apa yang kita lihat nakal? Mungkin dibalik itu ada sesuatu yang kita tidak pahami. Oleh karena itu, sangat arif jika seorang guru lebih dahulu memahami mengapa seorang siswa berperilaku seperti itu.
Penelitian UNICEF 2006 di tiga daerah yaitu Jateng, Sumsel, dan Sumut, tercatat sekitar 80% tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah guru terhadap anak didik mereka di sekolah.
Menurut Abd Assegaf (2004), factor kekerasan internal di lingkungan pendidikan sekolah sangat memeberikan pengaruh langsung pada perilaku siswa.
Guru sebagai sebuah profesi harus dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya. Guru harus tampil sebagai sosok yang disegani, bukan ditakuti. Membimbing anak didik dengan sabar karena kemampuan dan pertumbuhan intelektual setiap anak berbeda-beda. Menurut Fathor Rahman MD (2008), kemampuan mendidik dengan cara yang halus dan edukatif juga merupakan profesionalitas yang jauh lebih berharga daripada kemapanan sisis intelektualnya. Oleh karena itu, penting ditanamkan sebuah pemahaman bahwa tugas guru sejatinya tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Guru jangan pernah berhenti memberikan pengabdian yang terbaik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, agar tercipta generasi muda Indonesia yang unggul dalam prestasi dan berbudi pekerti terpuji.
PENULIS:
Dede Awan Aprianto, A.Ma. Guru SDN Rowopanjang, Bruno, Purworejo.
Alamat rumah: Dadirejo 01/04, Bagelen, Purworejo 54174 (Hp.081328835359)
Email:dedeawanap@yahoo.co.id

Senin, 16 Juni 2008

Permainan Lomba Cerdas Cermat, Pembelajaran Menyenangkan

Oleh Dede Awan Aprianto, A.Ma. Guru SDN Rowopanjang, Bruno, Purworejo.

Dulu di TVRI pernah ditayangkan Lomba Cerdas Cermat baik itu untuk tingkat SD ataupun SMP. Saya pun membayangkan seandainya saya mengikuti lomba tersebut dan memenangkannya, alangkah bahagianya. Saying, harapan itu tidak pernah kesampain meskipun pernah diberi kesempatan, namun gagal di babak seleksi.
Sekarang ini sudah jarang dijumpai acara televise yang bertemakan pendidikan seperti Lomba Cerdas Cermat karena acara televise saat ini lebih bersifat komersil dan bersifat hiburan semata serta mengenyampingkan acara yang bernilai.
Sebagai serang guru, kita pernah mendapaykan materi pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) atau saya lebih senang menyebutnya PAIKEM Gembrot (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Genbira dan Berbobot). Saya kira semua guru sudah paham apa itu pembelajaran PAKEM. Tapi yang tinbul dalam benak saya adalah sudahkah kita sebagai guru melaksanakan PAKEM tersebut?.
Saya mempunyai sedikit pengalaman sederhana tentang bagaimana pembelajaran yang efektif, karena menurut M.Sobri Sutikno (2007), pembelajaran efektif bukan membuat anda pusing, tetapi bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah dan menyenangkan.
Pada minggu-minggu terakhir dalam satu semester atau sebelum UAS dilaksanakan, biasanya materi pelajaran yang harus diajarkan untuk satu semester, sudah selesai. Untuk mengingatkan kembali siswa dengan pelajaran yang telah didapatnya, saya mengajak kepada bapak dan ibu guru untuk melakukan permainan Lomba Cerdas Cermat. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:
Ajaklah siswa untuk bermain. Saya lebih senang menggunakan kata bermain, tatapi intinya adalah bermain sambil belajar.
Bentuklah siswa menjadi dua sampai lima regu, dan setiap regu terdiri darai tiga anak.
Kondisikan siswa untuk larut dalam sebuah Lomba, dimana ada peserta, penonton, pembawa acara, pencatat skor/ nilai, dan bila memungkinkan adanya hadiah untuk pemenang lomba.
Guru menjadi pembawa acara, pembaca soal pertanyaan, dan berperan penuh terhadap jalannya permainan, termasuk memberi semangat kepada peserta, dan mengajak penonton memberikqan tepuk tamngan dan dukungan kepada peserta.
Guru telah menyiapkan soal pertanyaan yang dilombakan. Soal diambil dari materi satu pelajaran atau beberapa pelajaran.
Lomba terdiri dari 2 babak
Babak I, regu A mengambil soal pilihan untuk dipilih. Soal pilihan sebanyak regu yang bermain saat itu. Soal pilihan bias terdiri dari 5-10 soal. Bila regu A tidak bias menjawab atau menjawab salah, soal bias dilempar untuk dijawab regu berikutnya, begitupun seterusnya.
Babak II adalah menjawab soal rebutan yang dibacakan dengan aturan menjawab terlebih dahulu tunjuk jari bagi peserta.
Babak I untuk soal yang dijawab betul skor 100, dan jika salah tidak ada pengurangan.
Babak II untuk soal yang dijawab betul skor 100, dan jika salah dikurangi 50 (-50)
Tata cara permainan ini bias disesuaikan dengan kondisi yang ada, ataupun dengan kreatifitas yang lebih efektif dan menyenangkan.
Dari kegiatan Permainan Lomba Cerdas Cermat ini, dapat saya tarik kesimpulan sebagai berikut:
Mengingatkan kembali siswa dengan pelajaran yang pernah disampaikan, karena soal pertanyaan terdiri dari rangkuman pokok pelajaran.
Meningkatkan motivasi siswa, karena meningkatkan motivasi adalah dengan memberikan tujuan (memenangkan lomba), memberikan pujian, memberikan penghargaan (hadiah), memberikan hukuman (pengurangan skor), dan memberikan persaingan (kompetisi).
Mempraktekan cara berpikir cepat dan tepat.
Siswa belajar bekerjasama dengan teman satu regu.
Pembentukan karakter siswa untuk berani, menghilangkan rasa tidak percaya diri, dan tegas dalam mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya.
Memberikan pengalaman baru bagi siswa.
Memberikan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan menghibur.
Kiranya, pengalaman sederhana ini bermanfaat dan memberikan inspirasi kepada guru untuk mempraktekan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Karena, mengutip perkataan Mantan Mendikbud Fuad Hassan “Jangan terlalu rebut dengan kurikulum dan sistemnya, itu semua bukan apa-apa. Justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan”.
PENULIS:
Dede Awan Aprianto, A.Ma. Guru SDN Rowopanjang, Bruno, Purworejo.
Alamat rumah: Dadirejo 01/04, Bagelen, Purworejo 54174 (Hp.081328835359)Email:dedeawanap@yahoo.co.id

Jumat, 11 April 2008

SEMANGAT PENDIDIKAN ANDREA HIRATA DALAM TETRALOGI LASKAR PELANGI

Oleh: Dedeawan

Berbicara tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelanginya bukanlah hal yang baru bagi mereka yang mengikuti perkembangan novel Indonesia yang sedang semarak dengan hadirnya penulis-penulis novel yang memberikan kisah-kisah yang berbeda dan menggugah jiwa pembacanya, seperti Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang karya-karyanya best seller dan digandrungi karena ceritanya yang mengandung nilai Islami dan tidak terkesan menggurui.

Andrea Hirata, anak muda Melayu Belitong lulusan Sorbonne, Perancis, novelis muda berbakat yang menghadirkan kisah masa kecilnya dalam sebuah novel yang unik dengan mengangkat tema pendidikan dalam ceritanya yaitu Tetralogi Laskar Pelangi. Dalam Tetralogi Laskar Pelangi terdiri dari empat novel yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov.
Dalam Laskar Pelangi, mengisahkan sepuluh orang anak yang bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Cerita berawal dari keresahan Pak Harfan dan Bu Muslimah, yang mengabdikan diri di sekolah tersebut, yang panik karena baru ada sembilan anak baru kelas satu yang mendaftar yaitu Ikal (penulis sendiri, Andrea Hirata), Lintang, Mahar, Trapani, Kucai, Syahdan, Samson, A Kiong, dan satu-satunya perempuan bernama Sahara. Padahal menurut pengawas dari Diknas Belitong menegaskan bahwa sekolah yang muridnya kurang dari sepuluh maka sekolah tersebut harus tutup. Disaat-saat terakhir munculah Harun, anak lima belas tahun dengan keterbalakangan mental yang menyelamatkan sekolah itu dari penutupan.
Keberadaan SD sekaligus SMP Muhammadiyah tersebut sangat berbeda dengan kedaan sekolah-sekolah PN Timah, ibarat bumi dengan langit. Sekolah PN Timah adalah sekolah yang didirikan oleh PN Timah, perusahaan negara yang menguasai produksi hasil tambang di pulau Belitong. Sekolah PN dikhususkan untuk anak-anak pejabat atau staf yang bekerja di perusahaan yang pada masa itu tebesar se-kawasan Asia. Sedangkan penduduk belitong adalah pekerjanya.

Meski dikisahkan kesepuluh anak Laskar Pelangi tersebut bersekolah di sekolah yang mirip gudang kopra, semangat mereka tetap membara, begitupun Bu Muslimah guru mereka, dan Pak Harfan kepala sekolah. Bu Muslimah digambarkan sebagai sosok guru yang bersahaja dari pandangan anak didiknya yang memanggilnya ibunda guru. Kehidupan ekonominya dari pekerjaan lain sebagai penjahit. Profesi gurunya murni semata demi syiar Islam dan memenuhi panggilan jiwa sebagai pendidik. Demikian halnya dengan Pak Harfan, pamannya Bu Mus, digambarkan sebagai guru yang berjenggot lebat, berkemeja koko warna hijau yang berubah menjadi putih karena terlalu sering dicuci, bercelana panjang kusut karena terlalu sering dipakai. Kehidupan ekonominya dari hasil berkebun. Sekolah mereka adalah potret buram sekolah miskin masyarakat Melayu Belitong yang hidup dan berkembang dengan semangat perjuangan dan pengorbanan serta sumbangan sukarela warga.

Mengikuti alur cerita Laskar Pelangi membuat kita (pembaca) untuk menyelami masa kecil penulis (Andrea Hirata) dan juga teman-temannya yang penuh semangat dalam mengenyam pendidikan. Seperti Lintang yang harus mengayuh sepedanya sejauh 40 kilometer melewati jalan kecil penuh rawa dan buaya besar untuk sampai di sekolah. Lintang jualah yang disebut-sebut dalam novel ini sebagai anak jenius didikan alam, yang mengangkat harkat dan martabat sekolah miskin Muhammadiyah itu dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten mengalahkan sekolah-sekolah PN yang penuh fasilitas. Namun sayang, anak jenius didikan alam tersebut harus mengubur kejeniusannya saat ayahnya meninggal dan Lintang harus menjadi tulang punggung keluarganya.

Buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi adalah Sang Pemimpi. Mengisahkan Ikal, Arai, dan Jimron dalam menjalani hari-hari mereka bersama mimpi-mimpinya saat bersekolah di SMA. Kesetiakawanan yang tinggi mereka tunjukkan dalam mewujudkan mimpinya. Saat itu PN Timah belitong dalam keadaan kacau dan gelombang PHK besar-besaran membuat anak-anak tidak bisa bersekolah karena orang tua mereka tidak sanggup membiayainya. Anak-anak yang ingin bersekolah harus bekerja, begitu juga dengan ketiga sahabat ini, hingga harus bekerja sebagai kuli ngambat yang bertugas menunggu perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan. Kuli tambat adalah pekerjaan yang paling kasar yang hanya diminati oleh mereka yang semangat bersekolahnya kuat, atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan lain.

Buku ketiga adalah Edensor, menceritakan Ikal dan Arai yang mendapat beasiswa untuk mengambil S-2 ke Eropa, tepatnya di Sorbonne, Perancis. Dan buku keempat dari Tetralogi Laskar Pelangi adalah Maryamah Karpov.

Kiranya, semangat Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelanginya dalam meraih pendidikan setinggi-tingginya, menggapai mimpi menjadi kenyataan, mengunjungi tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya, dapat melecut kita, para pendidik ataupun siapa saja untuk memajukan pendidikan dengan segala keterbatasannya.