Jumat, 19 Juni 2009

Antara Karma dan Sariawan

Antara Karma dan Sariawan

Percayakah anda dengan karma? Jika anda bukan termasuk orang yang percaya dengan karma, maka mulai sekarang, saatnyalah anda untuk percaya karma itu.
Beberapa hari yang lalu saya menggertak anak didik saya dengan kata- kata yang pedas dan saya bisa pastikan: menyakitkan. Kenapa saya bisa bilang begitu, bacalah tulisan ini sampai selesai.

Karma bukanlah kurma, makanan khas yang tumbuh di daerah padang pasir itu, kondang sebagai oleh-oleh haji. Meski belinya tidak dari arab langsung, tapi setiap yang menyajikan orang yang pulang dari haji, maka setiap yang bertandang pasti ingin menyantap kurma dan air zam-zam itu (bisa dipastikan air zam-zamnya juga tidak semuanya zam-zam, maklum setiap jemaah haji pasti dibatasi berapa dirigen dia boleh membawa. Sementara ketika tiba di tanah air, berapa banyak warga yang ingin meraskan air zam-zam itu).

Bukan ke sana arah pembicaraan kita. Tapi yang namanya manusia. Suka bicara ngalor ngidul, yang kurang ditambah-tambahi, yang pedas jadi semakin pedas. Kembali ke laptop kata tukul, ya karma, kata yang tersusun dari lima huruf itu yang akan kita bicarakan.

Beberapa hari yang lalu ketika saya mengajar di depan murid-murid saya, ketika saya menerangkan, mereka mengobrol sendiri. Sontak saya pun marah, merasa tidak diperhatikan, merasa sia-sia diri ini dengan lantangnya menjelaskan materi pelajaran, sementara untuk ngomong saja mulut ini menahan kelu karena sariawan di bibir yang makin menjadi, asem kecut lah bisa dibilang mulut ini. Sariawan, benar benar menjengkelkan.

Lalu dimanakah karma itu? Sabar saudara- saudara, orang sabar disayang Tuhan.
Ketika saya mengikuti kuliah, (maklum kata pak guru saya yang sudah tua, guru muda harus sekolah, biar nanti bisa untuk surtifikasi katanya). Entah kenapa mungkin karena kebiasaan mengutak-atik handphone, pada waktu itu saya ketahuan sedang bermain hp. Maka sontaklah sang dosen pun menegur, lebih tepatnya marah, karena merasa beliau sedang berbicara (mungkin sambil menahan sariawan di bibir juga) tapi mahasiswanya tak mendengarkan beliau, mengacuhkannya.

Ketika beliau selesai melampiaskan kemarahannya, saya pun diam beribu bahasa. Teman-teman saya pun bilang, sudah jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka kasihan melihat saya yang seketika merasa bersalah. Tampang saya waktu itu memang bisa dibilang, layak untuk dikasihani.

Tapi sebenarnya bukan karena beliau marah itu saya diam. Tapi saya memikirkan perasaan anak didik saya yang beberapa hari yang lalu saya marahi justru bukan karena kesalahan mereka, tapi karena sariawan. Tapi kalau beliau yang barusan marah, ya saya terima. Karena itu memang kesalahan saya.

Ada beberapa hikmah yang saya petik dari kejadian itu. Pertama, karma itu berlaku. Tidak menunggu bulan atau tahun, hanya keletan (basa jawa) beberapa hari saja, langsung berbalik. Kedua, dimarahi memang menyakitkan. Ketiga, orang marah itu sebenarnya seperti mengeluarkan sifatnya yang sebenarnya, berkuranglah wibawanya. Keempat, kalau pikiran sedang sariawan, janganlah sariawan ini dibawa-bawa.

Dede Awan Aprianto
Guru SDN Rowopanjang Bruno Purworejo

Minggu, 19 April 2009

Kekerasan Pelajar Putri, Potret Buram Pendidikan Keluarga

Kekerasan Pelajar Putri, Potret Buram Pendidikan Keluarga

Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sesama pelajar. Parahnya, tindak kekerasan ini banyak yang diabadikan dalam rekaman video handphone, tekhnologi yang bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, termasuk pelajar. Lebih parahnya lagi, kekerasan pelajar tersebut tidak hanya terjadi pada pelajar putra saja, tetapi juga pelajar putri.
Masyarakat kita sepertinya sudah biasa disuguhi adegan-adegan yang direkam dengan video handphone. Mulai dari video mesum yang dilakukan oleh publik figur, video adegan panas yang dilakukan oleh pelajar, video kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid, video perpeloncoan senior terhadap yuniornya, dan video-video yang lain dengan judul dan berita yang lebih memukau. Rekaman video tersebut dengan mudahnya tersebar lewat kecanggihan tekhnologi informasi dan komunikasi saat ini.
Tapi yang membuat saya tidak habis pikir adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelajar putri yang dalam tayangan videonya tampak dilihat oleh banyak orang, ditonton, atau lebih tepatnya disemangati oleh yang menonton ibarat menyaksikan pertandingan tinju saja. Perempuan sosok yang anggun itu, tampaknya telah berubah paradigmanya menjadi perempuan petarung yang handal. Sungguh sebuah ironi.
Ada yang mengatakan, dimana sebenarnya kontrol pihak sekolah dalam memantau siswanya?, mengingat kejadian itu dilakukan oleh pelajar, masih berseragam pula. Ada yang bertanya, dimana peran keluarga dalam memberikan pendidikan kepada putra-putrinya?. Menurut saya, kekerasan pelajar sebenarnya merupakan hal yang sering terjadi di kalangan pelajar. Kita mengenal istilah bullying. Hanya saja mungkin dulu tidak direkam dalam handphone, sehingga tidak semua orang bisa menyaksikan hal itu.
Kegagalan Pendidikan dalam Keluarga
Kekerasan atau perkelahian yang dilakukan oleh pelajar putri sebenarnya merupakan sebuah indikasi yang menandakan bahwa telah rusaknya tatanan dalam masyarakat, runtuhnya budaya malu, hilangnya tenggang rasa dan kekeluargaan, musnahnya kesabaran yang dilandasi kasih sayang, dan kegagalan pendidikan dalam keluarga.
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi perilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat, sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Secara tersirat dipahami bahwa bahwa tujan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Memperhatikan tujuan tersebut maka pendidikan keluarga dapat dipandang sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya, meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Dinn Wahyudin, 2008).
Tidak ada kontrol dari keluarga, khususnya para orang tua yang tidak sempat lagi memberikan pendidikan dalam keluarga karena lebih sibuk dengan memenuhi ekonomi keluarga, telah membuat pelajar kita tidak memiliki kontrol diri dalam pergaulannya. Sehingga perkelahian pun marak terjadi karena mereka tidak memiliki sikap sabar dan sikap saling menghargai. Tayangan televisi bisa dikatakan menjadi penyebab merosotnya moral pelajar kita. Misalkan ada sebuah tayangan sinetron mengisahkan pelajar remaja yang berseteru hingga berusaha untuk melukainya. Peristiwa semacam ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadian anak.
Pembentukan Kepribadian Anak
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan oleh orang tua yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, sopan santun, etika, agar anak menjadi lebih siap untuk berperilaku baik dalam kehidupan masyarakat dan menghormati orang lain. Jika setiap keluarga menanamkan nilai-nilai etika yang benar maka semua manusia akan hidup berdampingan dan damai.
Sebagai orang tua, marilah kita pantau anak-anak kita agar terhindar dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh temannya atau melakukan kekerasan terhadap temannya. Walau bagaimanapun, anak tetaplah sosok yang mudah kita nasehati apabila kitapun memberikan contoh yang baik buat mereka. Pendidikan dalam keluarga sangatlah penting dan utama dalam keseluruhan proses pendidikan anak. Bila memiliki anak perempuan, didiklah mereka agar sadar akan posisi keperempuanannya. Tidak baik jika sampai dilihat orang kalau ada anak perempuan yang berkelahi.
Dede Awan Aprianto, A.Ma.
Guru SDN Rowopanjang Bruno Purworejo