Jumat, 11 April 2008

SEMANGAT PENDIDIKAN ANDREA HIRATA DALAM TETRALOGI LASKAR PELANGI

Oleh: Dedeawan

Berbicara tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelanginya bukanlah hal yang baru bagi mereka yang mengikuti perkembangan novel Indonesia yang sedang semarak dengan hadirnya penulis-penulis novel yang memberikan kisah-kisah yang berbeda dan menggugah jiwa pembacanya, seperti Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang karya-karyanya best seller dan digandrungi karena ceritanya yang mengandung nilai Islami dan tidak terkesan menggurui.

Andrea Hirata, anak muda Melayu Belitong lulusan Sorbonne, Perancis, novelis muda berbakat yang menghadirkan kisah masa kecilnya dalam sebuah novel yang unik dengan mengangkat tema pendidikan dalam ceritanya yaitu Tetralogi Laskar Pelangi. Dalam Tetralogi Laskar Pelangi terdiri dari empat novel yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov.
Dalam Laskar Pelangi, mengisahkan sepuluh orang anak yang bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Cerita berawal dari keresahan Pak Harfan dan Bu Muslimah, yang mengabdikan diri di sekolah tersebut, yang panik karena baru ada sembilan anak baru kelas satu yang mendaftar yaitu Ikal (penulis sendiri, Andrea Hirata), Lintang, Mahar, Trapani, Kucai, Syahdan, Samson, A Kiong, dan satu-satunya perempuan bernama Sahara. Padahal menurut pengawas dari Diknas Belitong menegaskan bahwa sekolah yang muridnya kurang dari sepuluh maka sekolah tersebut harus tutup. Disaat-saat terakhir munculah Harun, anak lima belas tahun dengan keterbalakangan mental yang menyelamatkan sekolah itu dari penutupan.
Keberadaan SD sekaligus SMP Muhammadiyah tersebut sangat berbeda dengan kedaan sekolah-sekolah PN Timah, ibarat bumi dengan langit. Sekolah PN Timah adalah sekolah yang didirikan oleh PN Timah, perusahaan negara yang menguasai produksi hasil tambang di pulau Belitong. Sekolah PN dikhususkan untuk anak-anak pejabat atau staf yang bekerja di perusahaan yang pada masa itu tebesar se-kawasan Asia. Sedangkan penduduk belitong adalah pekerjanya.

Meski dikisahkan kesepuluh anak Laskar Pelangi tersebut bersekolah di sekolah yang mirip gudang kopra, semangat mereka tetap membara, begitupun Bu Muslimah guru mereka, dan Pak Harfan kepala sekolah. Bu Muslimah digambarkan sebagai sosok guru yang bersahaja dari pandangan anak didiknya yang memanggilnya ibunda guru. Kehidupan ekonominya dari pekerjaan lain sebagai penjahit. Profesi gurunya murni semata demi syiar Islam dan memenuhi panggilan jiwa sebagai pendidik. Demikian halnya dengan Pak Harfan, pamannya Bu Mus, digambarkan sebagai guru yang berjenggot lebat, berkemeja koko warna hijau yang berubah menjadi putih karena terlalu sering dicuci, bercelana panjang kusut karena terlalu sering dipakai. Kehidupan ekonominya dari hasil berkebun. Sekolah mereka adalah potret buram sekolah miskin masyarakat Melayu Belitong yang hidup dan berkembang dengan semangat perjuangan dan pengorbanan serta sumbangan sukarela warga.

Mengikuti alur cerita Laskar Pelangi membuat kita (pembaca) untuk menyelami masa kecil penulis (Andrea Hirata) dan juga teman-temannya yang penuh semangat dalam mengenyam pendidikan. Seperti Lintang yang harus mengayuh sepedanya sejauh 40 kilometer melewati jalan kecil penuh rawa dan buaya besar untuk sampai di sekolah. Lintang jualah yang disebut-sebut dalam novel ini sebagai anak jenius didikan alam, yang mengangkat harkat dan martabat sekolah miskin Muhammadiyah itu dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten mengalahkan sekolah-sekolah PN yang penuh fasilitas. Namun sayang, anak jenius didikan alam tersebut harus mengubur kejeniusannya saat ayahnya meninggal dan Lintang harus menjadi tulang punggung keluarganya.

Buku kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi adalah Sang Pemimpi. Mengisahkan Ikal, Arai, dan Jimron dalam menjalani hari-hari mereka bersama mimpi-mimpinya saat bersekolah di SMA. Kesetiakawanan yang tinggi mereka tunjukkan dalam mewujudkan mimpinya. Saat itu PN Timah belitong dalam keadaan kacau dan gelombang PHK besar-besaran membuat anak-anak tidak bisa bersekolah karena orang tua mereka tidak sanggup membiayainya. Anak-anak yang ingin bersekolah harus bekerja, begitu juga dengan ketiga sahabat ini, hingga harus bekerja sebagai kuli ngambat yang bertugas menunggu perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan. Kuli tambat adalah pekerjaan yang paling kasar yang hanya diminati oleh mereka yang semangat bersekolahnya kuat, atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan lain.

Buku ketiga adalah Edensor, menceritakan Ikal dan Arai yang mendapat beasiswa untuk mengambil S-2 ke Eropa, tepatnya di Sorbonne, Perancis. Dan buku keempat dari Tetralogi Laskar Pelangi adalah Maryamah Karpov.

Kiranya, semangat Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelanginya dalam meraih pendidikan setinggi-tingginya, menggapai mimpi menjadi kenyataan, mengunjungi tempat yang tidak pernah diduga sebelumnya, dapat melecut kita, para pendidik ataupun siapa saja untuk memajukan pendidikan dengan segala keterbatasannya.

Sabtu, 05 April 2008

AYO MENULIS CERPEN

Bagi seorang guru/ pendidik, kegiatan tulis menulis lebih banyak yang berkaitan dengan dunia pendidikan seperti artikel, opini, atau dengan kata lain harus ilmiah, nonsastra, dan relevan. Oleh sebab itu, tulisannya cenderung berkutat seputar kebijakan pendidikan, kritik dan saran. Sehingga bagi sebagian guru yang sudah kenyang makan asam garam atau telah lama berkecimpung di dunia pendidikan seakan lelah dan bosan dengan suguhan yang tak juga berpihak kepada pendidikan itu sendiri. Kebijakan pemerintah untuk pendidikan, kesejahteraan guru, perkembangan kurikulum, adalah sajian yang sering kita temukan dalam tulisan tersebut. Terlebih lagi sang penulis biasanya adalah orang yang berprestasi dan bertugas di daerah perkotaan yang jauh dari kemelut kehidupan pendidikan di pedesaan dengan sagala keterbatasannya. Dan lebih memprihatinkan lagi adalah jika penulis itu sendiri menulis sekedar teori saja dan tujuan penulisannya adalah agar dirinya menjadi orang yang terpandang ilmunya, disegani, dan dihormati. Sehingga seolah tiada pesan yang mengena di hati pembacanya.
Dunia tulis menulis sangat dipengaruhi oleh senggangnya waktu di tengah-tengah kesibukan aktifitas pekerjaan dan urusan keluarga serta masyarakat.
Cerpen bisa menjadi alternative tulisan yang mampu memberi kesan berbeda bagi pembaca setelah menangkap pesan/ amanat yang ingin disampaikan, dan tentu saja masih seputar kebijakan pendidikan, kesejahteraan guru, perkembangan kurikulum, kritik, saran dan lain-lain.
Sebuah cerpen harus tetap mengedepankan estetika/ keindahan karena cerpen itu sendiri merupakan sebuah karya seni yang meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca. Salah satu kesalahan yang sering dibuat cerpenis pemula mereka berpikir bahwa cerpen itu hanya semacam media untuk menyampaikan informasi tertentu. Maka hasilnya karya yang dihasilkanpun tak lebih dari deretan informasi demi informasi (Jonriah Ukur Ginting, www.jonru.net).
Banyak cerita yang dapat menjadi inspirasi atau ilham untuk menulis sebuah cerpen. Ilham itu dikupas sedemikian rupa dan memadukannya dengan imajinasi, serta menuangkannya dalam bentuk tulisan. Adapun langkah-langkahnya adalah: menemukan ide dalam sebuah tema, menyusun alur cerita sebagai kerangka karangan, mengumpulkan kosakata dan gaya bahasa, mengembangkan alur cerita menjadi kerangka karangan utuh (Awan Sundiawan, www.awan965.wordpress.com).
Struktur para penulis pemula seringkali disarankan untuk menggunakan pengandaian berikut ini ketika menyusun cerpen mereka (diterjemahkan dan diringkas oleh Ary Cahya Utomo dari sumber www.write101.com/shortstory.htm, dan saya kutip dari www.pelitaku.sabda.org).
taruh seseorang di atas pohon (munculkan sebuah kedaan yang harus dihadapi tokoh utama cerita)
lempari dia dengan batu (kembangkan suatu masalah yang harus diselesaikan tokoh utama tadi)
buat dia turun (tunjukkan bagaimana tokoh pada akhirnya mengatasi masalah itu/ sebagai tempat memunculkan pesan yang ingin disampaikan penulis)
Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara nonfiksi dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan hukum tertentu. Jadi bagi yang ingin menulis fiksi, latihlah kreatifitas daya imajinasi dan juga kemampuan mendramatisasi suatu adegan (Ary Cahya Utomo, www.pelitaku.sabda.org).
Bacaan yang kita lahap sebenarnya ibarat amunisi yang membuat keahlian menulis kita semakin baik. Selain menambah wawasan/ pengetahuan, membaca juga bisa membuat kita menemukan kosakata baru, gaya bahasa baru, atau teknik bercerita yang baru (Jonriah Ukur Ginting, www.jonru.net).
Sebuah cerita tidak dapat disebut cerpen apabila secara minimal tidak memenuhi syarat sebagai berikut (Drs.Sugeng, Bahasa Indonesia SMA kelas X, 2005:76)
meskipun pendek, merupakan kesatuan yang lengkap dan selesai
tersusun atas lima bagian, pengenalan, perumitan, klimaks cerita, krisis balik, dan penyelesaian masalah
mengandung estetika, baik dalam hal bahasa maupun dalam hal teknik bercerita
unsur-unsur pembangun cerita tergambar secara eksplisit atau implicit
mampu memberikan efek (kesan tertentu) bagi pembaca baik secara moral, emosional, ataupun intelektual.
Jadi pada dasarnya sebuah cerpen harus memiliki tema, tokoh, setting, alur/ jalan cerita, konflik, dan amanat/ pesan. Selain itu, dalam sebuah cerpen harus ada dialog yang memberi bobot pada cerpen, juga dimanakah sudut pandang penulis dalam cerpen. Kalau sudut pandang penulis adalah sebagai ‘aku’, maka seolah-olah penulis benar-benar menceritakan dirinya sendiri. Jika sudut pandang penulis adalah sebaga pencerita, maka penulis hanyalah memaparkan sang tokoh dalam sudut pandang penulis.
Dan perlu kita renungkan, bahwa sebuah karya sastra baik itu cerpen, novel, dll, bila kita menulis berdasarkan tren yang sudah ada, dan mengikuti saja pendapat pakar penulis terkenal, bukan jaminan bahwa karya kita akan diterima oleh pembaca. Karena pada dasarnya, karya yang diterima oleh pembaca adalah karya yang benar-benar orisinil dan berbeda serta mengetengahkan hal yang baru bagi pembaca.
Rowopanjang, April 2008

Cerpen SEPENGGAL KISAH DARI LUBUK HATI

Oleh: Dedeawan
Pertemuanku dengannya pagi itu benar-benar membuatku tidak bisa nyenyak dalam tidur malamku. Kembali dengan kesadaran yang baru kuhimpun kucoba mengangkat beban tubuhku yang kurasa sangat berat. Kuusahakan mataku untuk menatap kemilau sinar mentari pagi yang sudah kian meninggi ketika kusibakkan tirai penutup jendela kamarku yang berhadapan langsung dengan hamparan luas di ujung sudut tempat kostku, tempat yang selama setahun lebih ini menampungku ketika aku menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri di jogja. Aku kuliah di jogja karena memenuhi cita-citaku untuk menjadi seorang guru. Pahlawan tanpa tanda jasa yang mengabdikan dirinya sampai kepelosok-pelosok desa dimana berdirinya sebuah sekolah dasar. Program Diploma yang sedang kutempuh saat ini memang ditujukan untuk mencetak insan pendidik tingkat dasar tersebut.
Segar rasanya tubuhku setelah bermandikan dinginnya air. Setiap guyuran satu gayuh air seakan menjadi pengobat rasa rinduku yang menggebu kepada sosok yang kutemui di terminal siang itu seminggu yang lalu. Pertemuan singkat itu menyebabkanku sulit untuk tidur, hanya memandangi ponselku dan berharap dia akan meneleponku karena dia sempat meminta nomor hp ku sebelum berpisah. Dia adalah orang yang ku panggil pak guru ketika aku masih SD dulu. Aneh rasanya merindukan guru yang seharusnya kuhormati itu. Bahkan dalam buku diaryku kutuliskan kata "Dia" bukankah sepantasnya kutuliskan kata "Beliau". Dan seharusnya maka akan tertulis "Beliaulah yang telah membuatku terhindar dari nyenyak tidurku, dan selalu mengisi hariku dengan lamunan yang tiada berujung". Sebagai anak gadis remaja 19 tahun, wajarlah jika aku selalu menuliskan setiap perasaanku. Tapi apakah pantas jika aku mencintai orang yang usianya 10 tahun lebih tua dariku, mungkin lebih. Ketampanan dan kewibawaannya sama sekali tak berkurang setelah hampir 8 tahun tidak bertemu. Dia, pak Arif namanya, adalah guru yang 10 tahun lalu ditempattugaskan di sebuah desa tempat tinggalku yang pelosok itu, yang harus dilalui menempuh 10 km jalan berbatu dan terjal. Hanya 2 tahun dia bertugas di desaku. Padahal kata ayahku yang mantan kepala desa, sekarang ini setiap guru yang diangkat harus menandatangani surat pernyataan bersedia ditempatkan di daerah terpencil dan tidak akan mengajukan pindah sebelum memiliki masa kerja 8 tahun. Entahlah, mungkin antara dulu dan sekarang peraturannya berbeda.
Kembali aku mengingat masa kecilku ketika itu, ketika dia masih mengajar di kelasku saat itu. Dari perwakannya, kami semua tahu bahwa guru kami ini bukanlah orang yang sudah tua umurnya seperti pak Ahmad yang suka menyuruh kami mencatat sampai 5 halaman bahkan lebih setiap kali mengajar. Dia berbeda, gayanya yang energik, pintar, dan sering melucu serta inovatif dan atraktif dalam mengajar itu membuat kami mampu menyerap apa yang disampaikannya. Terkadang dia tersipu malu apabila salah berujar, maklum jiwa mudanya saat itu mungin belum bisa menampakkan kepribadiannya yang dewasa.
Tidak mengherankan jika aku tahu banyak tentang dia, karena dulu dia tinggal di perumahan dekat rumahku. Sebagai seorang guru muda dia sering bertingkah kaku dan pendiam. Wajahnya juga tergolong tampan sehingga kakak perempuanku sempat menaruh hati padanya. Kini baru kusadari bahwa aku sendiri sebenarnya juga tertarik padanya. Sebagai anak belasan tahun, dulu aku belum bisa menerjemahkan arti dari ketertarikanku itu.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.30. Dengan segera kubereskan Rencana Pembelajaran yang sudah kupersiapkan matang tadi malam. Ini adalah hari-hari tersibuk dalam kegiatan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) di sebuah sekolah karena kegiatan mikro teaching/ praktek mengajar yang sedang aku jalani. Berbagai alat peraga kembali kucoba periksa guna memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah istirahat pertama, aku akan praktek mengajar IPA di kelas IV yang guru kelasnya terkenal kritis itu.
Dengan mengendarai Honda supra fit yang baru dibelikan ayahku, akhirnya sampai juga aku di pelataran parkir SD tempat PPL-ku. Aku tak memasuki ruang guru terlebih dahulu kerena bapak dan ibu guru mungkin sudah ada di kelas masing-masing. Sedang pak kepala sekolah kuketahui sedang kondangan ketempat kerabatnya. Dengan segera aku mendatangi teman-temanku di ruang UKS yang khusus dipersiapkan untuk markas mahasiswa yang PPL. Tak terelakan lagi kicauan Pak ketua yang panjang lebar memarahi dan menasehatiku agar jangan terlambat. Akhirnya dengan permintaan maaf , Pak ketua tampak sudah tak berkicau lagi. Entah kenapa aku merasa ada pada grup yang salah. Adalah pak ketua sebagai ketua regu yang kukenal sangat kaku namun taat beribadah. Terus tiga teman pria yang dulu pernah kutolak cintanya. Dua cewek yang sedang kasmaran karena baru memiliki cowok pujaan hati. Dan lagi lima ibu-ibu yang sudah berkeluarga. Kusebut ibu-ibu karena sudah menikah, meskipun diantara mereka ada yang belum dikaruniai anak. Yang kurasakan dari mereka adalah aroma ketidak-sukaan terhadapku karena menilai aku egois dan kekanak-kanakan. Mungkin karena mereka memang sudah terlalu tua.
Seusai praktek mengajar yang kukira sudah bagus, tak ku ambil hati kata bu Vira, guru kelas IV yang sering memberikan komentar yang tidak membangun daripada pujian yang seharusnya kudapatkan. Aku pergi ke kantin di luar sekolah yang kurasa tempatnya sangat nyaman, paling tidak, terhindar dari teman-temanku yang membosankan itu. Setelah memesan makanan, langsung kutuju tempat di sudut meja itu. Sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang, kutebarkan pandanganku dengan berharap agar pak Arif, guru yang kurindukan itu datang. Mengetahui betapa tersiksanya diriku memendam kerinduan ini. Entah berapa lama waktuku tersita untuk sekedar mengharapkan beliau menyapaku lewat hp ku. Memandangi hp bututku, dan yang terlintas dalam benakku adalah bayangan wajah tampannya. Mungkin aku memang benar-benar telah jatuh hati padanya. Kembali aku melamunkan pertemuan singkatku dengannya, saat aku duduk di bangku terminal di siang hari yang terik.
"Mira, kamu Mira khan!" sapa pak arif keheranan sambil mengulurkan tangan bersalaman. Tak menyangka akan bertemu kembali denganku, murid yang ditinggalkannya itu.
"I…i.iya pak!" balasku gelagepan sambil membalas uluran tangannya. Aku tersipu malu karena merasa ditatap oleh matanya yang tajam. Desiran darah kurasakan disekujur tubuh ketika berhadapan langsung dengan pria tampan ini. Tutur katanya yang spontan benar-benar tidak berbeda ketika dia mengajar dulu.
Kami pun berbincang-bincang. Dari perbincangan kami, aku mengetahui bahwa setelah pindah dari SD di desaku itu, dia mendapat tugas di sebuah SD di kota yang keberadaannya jauh lebih baik daripada di desaku itu. Benar-benar sebuah pertemuan yang tidak diduga tapi kurasa sangat membahagiakan. Bagaimana tidak, setelah kepindahannya dari desaku yang kurasa sangat tiba-tiba itu, akhirnya kerinduan ini terobati jua. Entah apa yang membuat pria setengah tua itu menarik perhatianku. Benar-benar kejujuranku ini adalah hal aneh tapi nyata. Atau begitu kuatkah sosok seorang guru sehingga selalu terngiang dalam ingatan.
Aku dikagetkan oleh kehadiran pedagang bakso yang mengantarkan pesananku.
"Maaf mbak, menunggu lama ya!" tanyanya ramah.
"Tidak apa-apa pak" jawabku gelagepan karena baru tersadar dari lamunanku. Setelah menyantap bakso dan membayarnya, akupun segera beranjak dari kantin itu. Berkumpul dengan temanku dan merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari.
Purworejo, 17 Maret 2008