Sabtu, 05 April 2008

Cerpen SEPENGGAL KISAH DARI LUBUK HATI

Oleh: Dedeawan
Pertemuanku dengannya pagi itu benar-benar membuatku tidak bisa nyenyak dalam tidur malamku. Kembali dengan kesadaran yang baru kuhimpun kucoba mengangkat beban tubuhku yang kurasa sangat berat. Kuusahakan mataku untuk menatap kemilau sinar mentari pagi yang sudah kian meninggi ketika kusibakkan tirai penutup jendela kamarku yang berhadapan langsung dengan hamparan luas di ujung sudut tempat kostku, tempat yang selama setahun lebih ini menampungku ketika aku menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri di jogja. Aku kuliah di jogja karena memenuhi cita-citaku untuk menjadi seorang guru. Pahlawan tanpa tanda jasa yang mengabdikan dirinya sampai kepelosok-pelosok desa dimana berdirinya sebuah sekolah dasar. Program Diploma yang sedang kutempuh saat ini memang ditujukan untuk mencetak insan pendidik tingkat dasar tersebut.
Segar rasanya tubuhku setelah bermandikan dinginnya air. Setiap guyuran satu gayuh air seakan menjadi pengobat rasa rinduku yang menggebu kepada sosok yang kutemui di terminal siang itu seminggu yang lalu. Pertemuan singkat itu menyebabkanku sulit untuk tidur, hanya memandangi ponselku dan berharap dia akan meneleponku karena dia sempat meminta nomor hp ku sebelum berpisah. Dia adalah orang yang ku panggil pak guru ketika aku masih SD dulu. Aneh rasanya merindukan guru yang seharusnya kuhormati itu. Bahkan dalam buku diaryku kutuliskan kata "Dia" bukankah sepantasnya kutuliskan kata "Beliau". Dan seharusnya maka akan tertulis "Beliaulah yang telah membuatku terhindar dari nyenyak tidurku, dan selalu mengisi hariku dengan lamunan yang tiada berujung". Sebagai anak gadis remaja 19 tahun, wajarlah jika aku selalu menuliskan setiap perasaanku. Tapi apakah pantas jika aku mencintai orang yang usianya 10 tahun lebih tua dariku, mungkin lebih. Ketampanan dan kewibawaannya sama sekali tak berkurang setelah hampir 8 tahun tidak bertemu. Dia, pak Arif namanya, adalah guru yang 10 tahun lalu ditempattugaskan di sebuah desa tempat tinggalku yang pelosok itu, yang harus dilalui menempuh 10 km jalan berbatu dan terjal. Hanya 2 tahun dia bertugas di desaku. Padahal kata ayahku yang mantan kepala desa, sekarang ini setiap guru yang diangkat harus menandatangani surat pernyataan bersedia ditempatkan di daerah terpencil dan tidak akan mengajukan pindah sebelum memiliki masa kerja 8 tahun. Entahlah, mungkin antara dulu dan sekarang peraturannya berbeda.
Kembali aku mengingat masa kecilku ketika itu, ketika dia masih mengajar di kelasku saat itu. Dari perwakannya, kami semua tahu bahwa guru kami ini bukanlah orang yang sudah tua umurnya seperti pak Ahmad yang suka menyuruh kami mencatat sampai 5 halaman bahkan lebih setiap kali mengajar. Dia berbeda, gayanya yang energik, pintar, dan sering melucu serta inovatif dan atraktif dalam mengajar itu membuat kami mampu menyerap apa yang disampaikannya. Terkadang dia tersipu malu apabila salah berujar, maklum jiwa mudanya saat itu mungin belum bisa menampakkan kepribadiannya yang dewasa.
Tidak mengherankan jika aku tahu banyak tentang dia, karena dulu dia tinggal di perumahan dekat rumahku. Sebagai seorang guru muda dia sering bertingkah kaku dan pendiam. Wajahnya juga tergolong tampan sehingga kakak perempuanku sempat menaruh hati padanya. Kini baru kusadari bahwa aku sendiri sebenarnya juga tertarik padanya. Sebagai anak belasan tahun, dulu aku belum bisa menerjemahkan arti dari ketertarikanku itu.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.30. Dengan segera kubereskan Rencana Pembelajaran yang sudah kupersiapkan matang tadi malam. Ini adalah hari-hari tersibuk dalam kegiatan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) di sebuah sekolah karena kegiatan mikro teaching/ praktek mengajar yang sedang aku jalani. Berbagai alat peraga kembali kucoba periksa guna memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah istirahat pertama, aku akan praktek mengajar IPA di kelas IV yang guru kelasnya terkenal kritis itu.
Dengan mengendarai Honda supra fit yang baru dibelikan ayahku, akhirnya sampai juga aku di pelataran parkir SD tempat PPL-ku. Aku tak memasuki ruang guru terlebih dahulu kerena bapak dan ibu guru mungkin sudah ada di kelas masing-masing. Sedang pak kepala sekolah kuketahui sedang kondangan ketempat kerabatnya. Dengan segera aku mendatangi teman-temanku di ruang UKS yang khusus dipersiapkan untuk markas mahasiswa yang PPL. Tak terelakan lagi kicauan Pak ketua yang panjang lebar memarahi dan menasehatiku agar jangan terlambat. Akhirnya dengan permintaan maaf , Pak ketua tampak sudah tak berkicau lagi. Entah kenapa aku merasa ada pada grup yang salah. Adalah pak ketua sebagai ketua regu yang kukenal sangat kaku namun taat beribadah. Terus tiga teman pria yang dulu pernah kutolak cintanya. Dua cewek yang sedang kasmaran karena baru memiliki cowok pujaan hati. Dan lagi lima ibu-ibu yang sudah berkeluarga. Kusebut ibu-ibu karena sudah menikah, meskipun diantara mereka ada yang belum dikaruniai anak. Yang kurasakan dari mereka adalah aroma ketidak-sukaan terhadapku karena menilai aku egois dan kekanak-kanakan. Mungkin karena mereka memang sudah terlalu tua.
Seusai praktek mengajar yang kukira sudah bagus, tak ku ambil hati kata bu Vira, guru kelas IV yang sering memberikan komentar yang tidak membangun daripada pujian yang seharusnya kudapatkan. Aku pergi ke kantin di luar sekolah yang kurasa tempatnya sangat nyaman, paling tidak, terhindar dari teman-temanku yang membosankan itu. Setelah memesan makanan, langsung kutuju tempat di sudut meja itu. Sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang, kutebarkan pandanganku dengan berharap agar pak Arif, guru yang kurindukan itu datang. Mengetahui betapa tersiksanya diriku memendam kerinduan ini. Entah berapa lama waktuku tersita untuk sekedar mengharapkan beliau menyapaku lewat hp ku. Memandangi hp bututku, dan yang terlintas dalam benakku adalah bayangan wajah tampannya. Mungkin aku memang benar-benar telah jatuh hati padanya. Kembali aku melamunkan pertemuan singkatku dengannya, saat aku duduk di bangku terminal di siang hari yang terik.
"Mira, kamu Mira khan!" sapa pak arif keheranan sambil mengulurkan tangan bersalaman. Tak menyangka akan bertemu kembali denganku, murid yang ditinggalkannya itu.
"I…i.iya pak!" balasku gelagepan sambil membalas uluran tangannya. Aku tersipu malu karena merasa ditatap oleh matanya yang tajam. Desiran darah kurasakan disekujur tubuh ketika berhadapan langsung dengan pria tampan ini. Tutur katanya yang spontan benar-benar tidak berbeda ketika dia mengajar dulu.
Kami pun berbincang-bincang. Dari perbincangan kami, aku mengetahui bahwa setelah pindah dari SD di desaku itu, dia mendapat tugas di sebuah SD di kota yang keberadaannya jauh lebih baik daripada di desaku itu. Benar-benar sebuah pertemuan yang tidak diduga tapi kurasa sangat membahagiakan. Bagaimana tidak, setelah kepindahannya dari desaku yang kurasa sangat tiba-tiba itu, akhirnya kerinduan ini terobati jua. Entah apa yang membuat pria setengah tua itu menarik perhatianku. Benar-benar kejujuranku ini adalah hal aneh tapi nyata. Atau begitu kuatkah sosok seorang guru sehingga selalu terngiang dalam ingatan.
Aku dikagetkan oleh kehadiran pedagang bakso yang mengantarkan pesananku.
"Maaf mbak, menunggu lama ya!" tanyanya ramah.
"Tidak apa-apa pak" jawabku gelagepan karena baru tersadar dari lamunanku. Setelah menyantap bakso dan membayarnya, akupun segera beranjak dari kantin itu. Berkumpul dengan temanku dan merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari.
Purworejo, 17 Maret 2008

Tidak ada komentar: